Michael Schindhelm diapit Agung Rai Founder ARMA Museum dan seniman Made Bayak saat
memberikan penjelasan Pameran ROOTS yang akan dibuka Sabtu (24/5/2025) di
Museum ARMA. (Foto: Agung Parameswara)
GIANYAR,
PERSPECTIVESNEWS – Seratus lebih karya seni rupa tertata rapi dalam sebuah
pameran bertajuk “Roots” (Akar Rumput) di Museum ARMA, Ubud, Kabupaten Gianyar,
Bali.
Pameran seni rupa mengenang 100 tahun Walter Spies ini,
merupakan hasil kerja bareng antara seorang penulis, pembuat film, dan
konsultan budaya asal Swiss-Jerman, Michael Schindhelm dengan seniman Bali,
Made Bayak dan Gus Dark.
Dipandu oleh kurator Chiara Turconi dan Yudha Bantono,
pameran ini berlangsung dari tanggal 24 Mei 2025 hingga 14 Juni 2025 mendatang.
Karya seni yang dipamerkan, isinya sungguh sangat luar biasa--menggambarkan
Bali jaman dulu dan adanya kesalahan tata kelola sehingga menjadi seperti
sekarang.
“Bali 100 tahun yang lalu sungguh memesona sampai-sampai
seorang Walter Spies tertarik datang dan menetap di Ubud, Bali. Tapi kini
kondisinya sangat berbeda, dan hal inilah yang dituangkan oleh seniman Made
Bayak dan Gus Dark dalam karyanya yang dipamerkan di ARMA Museum,” ucap pendiri
Museum ARMA, Agung Rai, Jumat (23/5/2025) di Ubud.
Walter Spies (15 September 1895 – 19 Januari 1942) merupakan
pelukis, perupa, dan juga pemusik Jerman-Indonesia. Ia adalah tokoh di belakang
modernisasi seni di Jawa dan Bali.
Spies lahir sebagai anak seorang peniaga kaya Jerman yang
telah lama menetap di Moskwa. Semenjak muda ia telah menggemari seni musik,
seni lukis, dan seni rupa.
Kata Gung Rai, Walter Spies sangat respek tidak saja dengan
keindahan alam Bali, melainkan juga kultur yang ada. Walter Spies juga sangat
menghormati lingkungan dan air. Hal itu, kata Gung Rai, dituangkan dalam
karya-karya Spies, yang mendemonstrasikan dari wayang ke lanskap. Spies pula
sangat respek budaya dan adat istiadat timur.
“Walter Spies juga merupakan seniman yang sangat dihormati
di dunia, itu sebabnya mengenang 100 tahun Walter Spies kita gelar pemeran seni
rupa bertajuk ‘Roots’ aga kita tidak melupakan akar budaya,” katanya.
Menurut Agung Rai, akar budaya di Indonesia harus tetap kuat
tidak goyah oleh perkembangan teknologi, harus tetap berdiri tegak walau badai
besar menerpa. Ini karena akar budaya merupakan karakter bangsa Indonesia.
Agung Rai menambahkan, generasi muda wajib melihat pameran karya Made Bayak dan
Gus Dark.
Sementara Made Bayak mengatakan, karyanya adalah ajakan bagi
Walter Spies untuk melihat Bali dari sudut pandang yang berbeda. “Dalam
kolaborasi ini, saya mengajak Walter Spies ‘berdialog’ dengan Pak Agung Rai,
dan teman-teman WALHI Bali untuk membahas isu lingkungan dan alam,” ungkap Made
Bayak.
Ia bahkan berani mengangkat topik-topik yang jarang
dibicarakan, seperti tragedi kemanusiaan tahun 1965, mengajak Spies melihat
kembali tugu peringatan yang kini hilang, serta bekas penjara di Denpasar yang
menyimpan kisah kelam tahanan politik. “Penting bagi saya untuk mengajak Walter
Spies melihat situasi hari ini,” tegasnya.
Sementara itu, Michael Schindhelm menampilkan karya seni
instalasi, grafis, serta cuplikan film dokumenter fiksi “ROOTS”.
Karyanya menggambarkan sosok Walter Spies sebagai figur
metaforis yang menjelajahi Bali pascakunjungan pertamanya, merefleksikan
gambaran Bali kini.
Schindhelm menjelaskan bahwa seratus tahun yang lalu, Walter
Spies, pelukis Jerman kelahiran Moskow, pertama kali mengunjungi Bali dan
menjadikannya rumah baru hingga kematian tragisnya pada tahun 1942 di usia 47
tahun.
Meskipun pernah berpameran di Berlin dan Amsterdam, serta
terlibat dalam pembuatan film horor pertama di dunia, “Nosferatu”, Spies nyaris
terlupakan dalam sejarah seni Barat. Namun, di Bali, namanya tetap dikenang.
Gayanya yang realisme magis menjadi inspirasi, dan perannya sebagai penari
serta koreografer turut mengembangkan tari Kecak yang kini populer. (djo)