Tokoh Puri Gerenceng AA
Ngurah Agung (kiri), Tim Hukum Tergugat dari H2B Law Office AKBP (P) Ketut
Arianta SH, dan Ketua Tim Kuasa Hukum Harmaini Idris Hasibuan, SH saat memberi
pernyataan, Senin (21/8/2023) (FOTO: djo)
DENPASAR,
PERSPECTIVESNEWS - Dua
orang ahli yang dihadirkan pada sidang gugatan perdata eks anggota DPRD Badung I
Made Dharma SH, yakni Ahli Hukum adat Bali Dr Ketut Sudandra SH, MH, dan Ahli Hukum
Agraria Prof Dr Aslan Noor SH, MH ,CN, sama-sama menguatkan dalil hukum pihak
tergugat, yang secara tegas menolak semua dalil gugatan penggugat.
Pada sidang di Pengadilan Negeri Denpasar, Senin (14/8/2023)
Ketut Sudandra, yang membuktikan bahwa perkawinan nyentana tidak pernah ada
atau tidak mungkin terjadi, adalah karena satu keluarga tidak memiliki anak
laki-laki.
Sedangkan Ni Wayan Rumpeng, kata Sudandra, memiliki empat
orang saudara laki-laki, dan I Riyeg terbukti memiliki tiga orang istri yang
tidak mungkin melakukan perkawinan nyentana.
Demikian juga, pihak penggugat sebagai ahli waris Ni Wayan
Rumpeng sama sekali tidak pernah memenuhi kewajiban atas warisan dari I Wayan
Riyeg untuk palemahan, parahyangan dan pawongan, hanya para tergugat yang
menjaga, memelihara dan membiayai setiap odalan di Pura Dalem Balangan dari dalu
sampai sekarang, ditambah kesaksian para saksi juga, sanggah kemulan untuk memuja
roh leluhur (Dewa Hyang) I Riyeg, dan semua turunannya berada di rumah para tergugat,
bukan di rumah para penggugat I Made Dharma, dkk.
Sedangkan Ahli Hukum Agraria dan Perundang-Undangan Prof Dr
Aslan Noor, SH, MH, CN, menyatakan bahwa berdasarkan ketentuan terkait tanah apabila gugatan
didasarkan atas perkawinan nyentana yang tunduk pada hukum adat Bali, maka
gugatan tersebut akan gugur karena hukum adat akan tidak bisa atau tidak mampu
melawan hukum negara Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960/UUPA, sehingga hukum adat Bali
hanya dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional.
Artinya, hukum adat hanya
dapat diberlakukan dalam tiga hal, yaitu setiap ahli waris setuju untuk
diberlakukan hukum adat dalam pembagian waris, setiap ahli waris harus ada
hubungan darah dari laki-laki saja (patrilineal), dan pengadilan harus
mengutamakan hukum nasional dibandingkan hukum adat Bali terkait dengan
silsilah ahli waris yang dihubungkan dengan perkawinan nyentana yang tidak
memiliki bukti dan harta warisannya.
Dengan demikian, semua
nama-nama yang tercantum dalam pipil, nama itulah yang mewarisi berdasarkan
keturunan sedarah. Sedangkan menarik garis waris berdasarkan perkawinan
nyentana yang bukan berdasarkan garis keturunan laki-laki (purusa), maka garis
waris yang ditarik dari perempuan tidak memiliki hak waris semestinya.
Apalagi yang dimuat dalam
pipil adalah berdasarkan penarikan waris laki-laki dan telah nyata-nyata dimuat
dalam pipil, maka turunan sedarahlah yang memperoleh harta warisan bukan
berdasarkan garis waris berdasarkan hukum adat yaitu nyentana yang tidak
memiliki bukti telah memenuhi kewajibannya dalam 3 swadharma parahyangan,
palemahan dan pawongan dari ahli waris yang mengklaim adanya perkawinan
nyentana tersebut.
Menurut Aslan Noor, perbuatan melawan hukum perdata tidak
dapat disamakan dengan perbuatan melawan hukum pidana, sehingga perbuatan melawan
hukum dalam ranah pidana tidak dapat menjadi objek persidangan perdata, apalagi
sampai diputus oleh peradilan perdata, karena ini menyangkut ketentuan tentang
kompetensi absolut, yaitu kewenangan substansi yang membedakan jenis peradilan
di Indonesia, yang menganut pembagian bidang hukum.
Aslan Noor juga menerangkan, gugatan dengan tuduhan pemalsuan
silsilah keluarga, tindakan intimidasi dan adu domba tidak dapat diperiksa dan
diputus dalam kamar atau ruang lingkup peradilan perdata, karena substansi
pidana tidak tepat jika diproses pada peradilan perdata karena melanggar
kompetensi absolut sebagaimana digagas oleh konsep tree of law.
Menurut Aslan Noor, dengan berlakunya UU 5/1960, satu-satunya pemilik asal yang diakui
hanyalah nama yang terdapat di dalam pipil sebagai alas hak (bukti awal) untuk
ditegaskan menjadi hak milik atas nama yang ada di dalam pipil tersebut, dan
tidak berlaku land record atau
rekaman-rekaman nama apapun yang tidak diakui sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ketentuan konversi UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Sebagaimana ditegaskan pula
oleh Pasal 24 PP 24/1997 terkait keabsahan bukti hak-hak lama, yaitu yang
diakui adalah pipil sebagaimana diatur dalam Pasal 76 PMA 3/1997 tentang
pelaksanaan PP 24/1997 tentang pendaftaran tanah.
Dengan demikian, ahli waris
yang berhak atas tanah yang terdaftar dalam pipil, tidak ada lagi kaitan dengan
hukum waris adat Bali seperti adanya nyentana, namun harus tunduk pada sistem
KUHPerdata yaitu adanya hubungan darah berdasarkan garis keturunan laki-laki
dari derajat satu yang tak terbatas sampai dengan ke samping untuk derajat dua,
sebagaimana diatur dalam PP 37/1998.
Artinya, apapun rekaman
nama-nama sebelum tercantum di dalam pipil (1957) tidak dianggap sebagai
pemilik asal sebagaimana diatur dalam Pasal 76 PMA 3/1997 tentang pelaksanaan
PP 24/1997. Mestinya, jika ada nyentana sebelum berlakunya pipil, pastilah nama
hasil nyentana tersebut tercatat/dicatat oleh petugas pipil (Classtering/Dinas
Rehfiscaal zaman belanda hingga tahun 185 oleh Kantor Dinas Luar) di dalam pipil,
dan jika tidak tercatat, berarti dapat dipastikan tidak ada perbuatan hukum
nyentana.
Seharusnya jika Penggugat ingin menggugat tanah yang sudah
bersertifikat diharuskan melalui pembuktian hukum pidana terlebih dahulu,
sehingga setelah ada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap, kemudian baru
dapat diajukan gugatan perdata untuk membatalkan keabsahan sertifikat hak milik
tersebut. Jika, belum ada putusan pidana, maka tidak dapat diajukan gugatan
perdata untuk membatalkan sertifikat milik para pergugat.
Kuasa Hukum Tergugat H.I. Hasibuan, S.H., Ketua Tim H2B Law
Office menyatakan berdasarkan Hukum Adat Bali, dalil gugatan penggugat Made
Dharma dkk yang mendalilkan bahwa ada hubungan waris antara penggugat dengan tergugat
disebabkan adanya perkawinan nyentana antara leluhur penggugat berdasarkan
darah perempuan Ni Wayan Rumpeng, yang mana pihak tergugat menolak keras dalil
dari pihak penggugat tersebut karena sampai pemeriksaan persidangan selesai,
pihak penggugat sama sekali tidak memiliki selembar kertas yang membuktikan
pihak penggugat sebagai pemilik tanah dan tidak dapat menunjukkan bukti-bukti
sesuai Hukum Adat Bali atas adanya perkawinan nyentana tersebut.
Malah 5 buah bukti surat milik penggugat Made Dharma dkk
berupa Surat Pernyataan Silsilah Keluarga tanggal 11 Mei 2022, Surat Pernyataan
Waris tanggal 11 Mei 2022, Surat Silsilah Keluarga I Riyeg (alm) tanggal 14 Mei
2001, Surat Keterangan Nomor: 470/101/Pem, tanggal 4
Agustus 2022, kesemuanya adalah palsu yang di dalam pemeriksaan persidangan
telah ditolak keberadaannya dan keasliannya oleh para saksi yang di dalam surat-surat
palsu tersebut disebut namanya dan seolah-olah ikut menandatangani surat
tersebut.
Ternyata, pada saat persidangan pemeriksaan saksi mantan
Lurah Jimbaran Nyoman Soka, BBA dan Lurah Jimbaran I Wayan Kardiyasa, SPd
menyatakan bahwa surat-surat tersebut palsu dengan menerbitkan Surat Pembatalan
sesuai Surat Keterangan Reg. No. 470/179/IV/2023/Jimbaran tanggal 26 April 2023,
yang ditandatangani oleh saksi Lurah Jimbaran dan Kelian Desa Adat Jimbaran.
Kemudian pihak penggugat memasukkan sebagai bukti hukum surat-surat
palsu seolah-olah asli sebagai dalil hukum untuk menguatkan gugatannya di dalam
Surat Gugatan dalam perkara a quo Nomor
50/Pdt.G/2023/PN Dps, oleh karena itu Surat Gugatan dari Penggugat Nomor 50/Pdt.G/2023/PN Dps menjadi
objek surat palsu dalam Laporan Polisi Nomor LP/B/208/IV/SPKT Polda Bali
tanggal 19 April 2023, dan saat ini kelima surat palsu tersebut sedang
diperiksa dalam proses penyelidikan sesuai Laporan Polisi Nomor
LP/B/208/IV/SPKT Polda Bali tanggal 19 April 2023, dimana sebagai terlapor
adalah para penggugat, I Made Dharma dkk bersama 16 orang pihak para penggugat,
yang ikut membantu membuat surat palsu tersebut.
Bahwa saat wartawan mengkonfirmasi tiga orang saksi pada
tanggal 14 Agustus 2023 di Pengadilan Negeri Denpasar dengan mantan pejabat Lurah
Jimbaran, yaitu Nyoman Soka BBA dan Drs. Made Tarip Widharta, M.Si., serta Lurah
Jimbaran I Wayan Kardiyasa, S.Pd., di Pengadilan Negeri Denpasar, ketiganya membenarkan
bahwa surat-surat yang dimiliki para penggugat adalah surat-surat palsu dan
memohon agar Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang memeriksa perkara ini
memberikan putusan berkeadilan, dan jangan sampai memenangkan pihak penggugat
yang bermodalkan hanya dengan surat-surat palsu tersebut.
Sementara itu, pengacara penggugat Putu Nova Christ Andika
Graha Parwata belum bisa dihubungi wartawan. Di mana wartawan sudah berusaha
menghubungi lewat sambungan WhatsApp, namun, sampai berita ini diturunkan, Putu
Nova Christ Andika Graha Parwata belum memberikan tanggapan. (djo)