Dari kiri ke kanan: Dewa Nyoman Budiasa, dr. Amelia Dwi
Nurulita Sugiharta, SpKJ; Luh Putu Anggreni, SH, dan Gede Eka Sandi Asmadi atau
akrab disapa Bi Lolo. (Foto: Humas SMSI Denpasar)
DENPASAR,
PERSPECTIVESNEWS - Sosialisasi dan edukasi tentang deteksi dini gangguan
kejiwaan atau skrining kesehatan mental perlu terus dilakukan sebagai salah
satu upaya mencegah terjadinya bunuh diri.
Dokter spesialis kesehatan jiwa dari BIMC Hospital dr.
Amelia Dwi Nurulita Sugiharta, SpKJ. mengatakan, saat ini layanan deteksi dini
mental health sangat mudah diakses, baik di rumah sakit, klinik, maupun
puskesmas.
“Salah satu alasan masih tingginya angka bunuh diri adalah
karena kurangnya deteksi dini. Padahal, melalui skrining awal, kita bisa
mengenali gejala awal dan segera memberikan bantuan kepada mereka yang
menunjukkan tanda-tanda gangguan kejiwaan,” ujar Amelia.
Hal tersebut disampaikan Amelia dalam acara Talkshow Mental
Health bertajuk ‘Merawat Kesehatan Mental: Menjaga Harapan Masyarakat Kota
Denpasar’ yang digelar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kota Denpasar di
Istana Taman Jepun, Denpasar, Kamis (17/7/2025).
Ia juga menyoroti pengaruh negatif media sosial terhadap
kesehatan mental. Menurutnya, banyak orang merasa stres karena terus-menerus
membandingkan hidupnya dengan gambaran 'kehidupan ideal' yang sering
ditampilkan di media sosial.
Amelia menyebut media sosial memang punya sisi positif, tapi
juga bisa menimbulkan dampak negatif, terutama bagi mereka yang mudah
membandingkan diri. Standar hidup ala media sosial bisa membuat seseorang
merasa tidak cukup atau gagal, dan itu memicu stres.
"Padahal, stres bisa dikelola. Tidak ada masalah yang
terlalu ringan atau terlalu berat semua tergantung bagaimana kita memaknainya.
Karena itu, penting bagi setiap individu untuk belajar mengelola stres dengan
cara yang sesuai dengan kebutuhannya,” tambahnya.
Narasumber lain yang juga seorang penyintas gangguan
kesehatan mental, Gede Eka Sandi Asmadi yang akrab disapa Bli Lolo, menekankan
pentingnya edukasi kepada masyarakat tentang keberanian untuk speak up dan
menerima kondisi yang sedang dialami.
“Saat ini banyak orang mengalami stres yang tidak terlihat,
diperparah dengan arus informasi yang tak selalu tersaring dengan baik. Sering
kali, kekuatan mental kita tidak cukup kuat untuk memikul beban tersebut.
Karena itu, edukasi dan sosialisasi tentang kesehatan mental perlu dilakukan
dengan bahasa yang sederhana dan membumi agar mudah dipahami,” jelas Bli Lolo.
Kata dia, pada era digital saat ini informasi tentang
kesehatan mental sangat mudah diakses. Namun sayangnya, tidak semua informasi
mudah dicerna. Banyak di antaranya yang bersifat teoritis dan terlalu
‘melangit’, sehingga bukannya membantu, justru bisa menambah beban pikiran.
Bli Lolo berpendapat, penting bagi kita untuk mencari solusi
yang terarah, misalnya dengan memeriksa kondisi fisik jika ada gejala seperti
GERD atau stres berkepanjangan.
Ia mengimbau jangan malu untuk pergi ke psikolog dan jangan
takut dengan stigma yang masih ada. Masih banyak yang menganggap pasien
psikolog sebagai sesuatu yang negatif, padahal tidak demikian.
"Cobalah mulai dengan aktivitas sehat seperti mengubah
pola makan, meditasi, yoga, atau olahraga lainnya. Bergabunglah dengan
komunitas atau sistem dukungan (support system) yang bisa membantu kita merasa
bahwa kita tidak sendiri,” ungkapnya.
Ia juga mencontohkan praktik di beberapa negara seperti
Australia, di mana layanan konseling dan nomor call center untuk bantuan
psikologis mudah ditemukan di ruang-ruang publik. “Itu bentuk kepedulian nyata
agar orang yang mengalami gangguan mental tidak sampai pada titik bunuh diri,”
cetusnya.
Sementara itu, narasumber Luh Putu Anggreni, S.H.,
pendamping hukum Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak
(UPTD PPA) Kota Denpasar mengangkat pentingnya manajemen kasus terkait
persoalan mental di masyarakat terutama bagi perempuan dan anak.
"Manajemen kasus dapat menjadi pendekatan yang
dibutuhkan untuk menjamin anak dan keluarga memperoleh aset secara akses
terhadap pelayanan yang tepat," jelas Luh Putu Anggreni yang juga seorang
pengacara ini.
Ia juga membahas perlindungan anak terpadu berbasis
masyarakat (PATBM) yaitu sebuah gerakan dari jaringan atau kelompok warga pada
tingkat masyarakat yang bekerja secara terkoordinasi untuk mencapai tujuan
perlindungan anak.
"PATBM merupakan inisiatif masyarakat sebagai ujung
tombak untuk melakukan upaya-upaya promosi dan pencegahan kekerasan terhadap
anak dengan membangun kesadaran ke arah perubahan pemahaman sikap dan perilaku
berkenaan upaya perlindungan anak," urainya.
Fenomena bunuh diri bukan hanya soal individu, tapi
merupakan masalah sosial yang bisa dicegah bila ditangani bersama-sama. Melalui
kegiatan edukasi seperti ini, ia berharap Kota Denpasar bisa menjadi kota yang
lebih peduli terhadap kesehatan mental warganya, dan mampu menciptakan
lingkungan yang lebih suportif, terbuka, dan penuh harapan.
Menggenapi wawasan tentang kesehatan mental ini, Dirut Padma
Bahtera Medical Group sekaligus pemilik Istana Taman Jepun Dewa Nyoman Budiasa
mengulik soal bagaimana menciptakan ketenangan dalam menjaga kesehatan mental
di tengah badai kehidupan kerja di Bali.
Kata dia seringkali manusia fokus pada kesehatan fisik namun
lupa bahwa pikiran dan perasaan kita juga butuh perhatian apalagi di tengah
tuntutan hidup yang kian kompleks.
"Hari ini kita menyelami bagaimana lingkungan kerja
baik ekstrem maupun yang dialami sehari-hari bisa mempengaruhi mental dan yang
terpenting Bagaimana bisa tetap tegar dan menemukan ketenangan," tuturnya.
Ia mengungkapkan tekanan sosial dan ekonomi di Bali usai
pandemi yang mengubah banyak hal meskipun pariwisata mulai pulih namun jejaknya
masih terasa dan memunculkan tekanan baru satu ketidakpastian ekonomi.
Pada bagian akhir talkshow, Ketua SMSI Provinsi Bali Emanuel
Dewata Oja atau akrab disapa Edo menjelaskan terkait pemberitaan kasus bunuh
diri di media sosial maupun media massa. Menurutnya, media sosial kerap
menampilkan konten yang terlalu vulgar terkait kasus bunuh diri, yang justru
bisa memicu tindakan serupa (copycat suicide) oleh orang yang membaca atau
melihatnya di medsos.
Namun, Edo menilai tidak sepenuhnya benar jika media disebut
sebagai penyebab meningkatnya kasus bunuh diri. Ia menegaskan pentingnya membedakan
antara media sosial dan media pers yang bekerja dengan standar dan kode etik
jurnalistik yang jelas. (*)