Ossy saat menutup Rakor yang diselenggarakan Kementerian ATR/BPN melalui Dirjen PSKP di Jakarta, Jumat (5/12/2025). (Foto: ATR/BPN)
JAKARTA, PERSPECTIVESNEWS- Wakil Menteri Agraria dan
Tata Ruang/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (Wamen ATR/Waka BPN), Ossy
Dermawan, menegaskan pentingnya keberlanjutan dalam memperkuat langkah
pencegahan dan penyelesaian tindak pidana pertanahan.
Dalam penutupan Rapat Koordinasi (Rakor) Pencegahan dan
Penyelesaian Tindak Pidana Pertanahan Tahun 2025, ia menyampaikan empat poin
strategis yang perlu mendapat perhatian, yaitu penguatan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) Pertanahan, optimalisasi peran APIP, kebutuhan pembentukan
pengadilan pertanahan, serta pemulihan aset negara yang berlandaskan prinsip
keadilan.
“Bapak/Ibu sekalian, menurut hemat saya, apa yang dilakukan sejak pengarahan
hingga fokus grup diskusi selesai, telah menghasilkan empat hal penting yang
saling berhubungan. Saya ingin mengulangnya kembali agar dapat kita bawa ke
daerah masing-masing untuk disampaikan dan disosialisasikan kepada jajaran
kerja lainnya,” ujar Ossy saat menutup Rakor yang diselenggarakan Kementerian
ATR/BPN melalui Direktorat Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan
(PSKP) di Jakarta, Jumat (5/12/2025).
Di hadapan peserta Rakor, Wamen Ossy menekankan perlunya sistem penegakan hukum
yang lebih terstruktur di bidang pertanahan.
Poin pertama menyoroti pentingnya penguatan PPNS Pertanahan
sebagai kebutuhan strategis, mengingat karakteristik tindak pidana pertanahan
yang memerlukan keahlian khusus.
PPNS dinilai perlu memiliki spesialisasi agraria dan
didorong untuk mengedepankan _restorative justice_ dalam penyelesaian perkara.
Untuk memperkuat peran PPNS, Wamen Ossy juga menilai perlunya wacana revisi
Undang-Undang Pokok Agraria terkait pengaturan penyidik pertanahan. “Ini
pekerjaan yang berat dan membutuhkan political will yang kuat. Namun, tidak ada
yang tidak mungkin jika kita memiliki keinginan yang kuat,” tegasnya.
Poin kedua menekankan pentingnya penguatan fungsi pencegahan di lingkungan
Kementerian ATR/BPN. Menurut Wamen Ossy, pencegahan harus menjadi pintu utama
dalam menangani berbagai isu pertanahan agar potensi konflik tidak semakin
meluas.
Poin ketiga adalah kebutuhan pembentukan pengadilan pertanahan. Saat ini,
perkara pertanahan sering bersinggungan dengan tiga lingkungan peradilan,
antara lain perdata, Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan peradilan pidana,
yang tidak jarang menghasilkan putusan berbeda. Karena itu, diperlukan kajian
mendalam mengingat inisiatif ini berpotensi mengubah struktur sistem yudikatif
nasional.
Meski demikian, Wamen Ossy menilai diskusi dalam Rakor telah
mengarah pada wacana konstruktif yang diharapkan menciptakan titik temu.
Isu terakhir menyoroti pemulihan aset negara yang harus dilakukan secara adil
melalui pendekatan multi-pintu dan multi-aspek untuk meminimalkan potensi
konflik di masyarakat.
“Karena itu diperlukan komunikasi yang efektif dan mendalam
dengan kementerian terkait, khususnya Kementerian Keuangan, dalam upaya
mengelola aset negara,” pungkasnya.
Penutupan Rakor ini dihadiri oleh Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan
Konflik Pertanahan, Iljas Tedjo Prijono; Staf Khusus Menteri Bidang
Pemberantasan Mafia Tanah, Brigjend Pol Yaved; serta para Pejabat Pimpinan
Tinggi Pratama di lingkungan Direktorat Jenderal PSKP. (MW/JR)
