Prof. Dr. Ir. I Made Sudarma, M.S (Foto: angga)
DENPASAR,
PERSPECTIVESNEWS - Rencana penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung mulai tanggal 23 Desember 2025, terus memantik diskusi publik, terutama mengenai kesiapan infrastruktur
pengelolaan sampah di Bali.
Pengamat lingkungan, Prof. Dr. Ir. I Made Sudarma, M.S.,
menyampaikan bahwa kapasitas pengolahan sampah di tingkat daerah belum
sepenuhnya siap untuk mengimbangi penghentian operasional TPA Suwung yang
selama ini melayani wilayah Denpasar dan Badung.
Dalam wawancara dengan perspectivesnews pada Sabtu (20/12/2025),
Prof Sudarma menilai bahwa kondisi saat ini merupakan konsekuensi dari
kurangnya implementasi kebijakan dan lemahnya pembenahan sistem pengelolaan
sampah sejak terbitnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2008.
TPA Suwung, menurutnya, seharusnya telah bertransformasi
dari sistem open dumping menjadi sanitary landfill. Namun transformasi tersebut
disebut tidak berjalan, sehingga menimbulkan akumulasi persoalan lingkungan dan
teknis.
“Kondisi ini adalah akumulasi masalah yang tidak terkelola
sejak awal. Sudah sejak 2008 kita diwajibkan meninggalkan sistem terbuka,
tetapi yang terjadi justru pembiaran,” ujar Prof Sudarma.
Ia menjelaskan bahwa sistem open dumping yang masih
diterapkan di TPA Suwung meningkatkan risiko pencemaran air, emisi gas metana,
peningkatan vektor penyakit, hingga potensi kebakaran. Menurutnya, sanitary
landfill dengan geomembran dan fasilitas pengolahan lindi merupakan standar
minimal untuk mengurangi dampak tersebut.
Penutupan TPA Suwung dipicu oleh instruksi pemerintah pusat
melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 921 Tahun 2025,
yang mengamanatkan penghentian sistem open dumping. Di sisi lain, Undang-Undang
No. 18 Tahun 2008 dan regulasi daerah terkait juga menetapkan ancaman sanksi
administratif hingga pidana bagi pengelola fasilitas yang tidak memenuhi
ketentuan.
Selain aspek regulasi, Prof Sudarma menyoroti dinamika
koordinasi antarpemerintah. Pemerintah Kabupaten Badung dan Kota Denpasar
diketahui telah mengajukan permohonan penundaan jadwal penutupan, sedangkan
pemerintah provinsi sebelumnya menegaskan bahwa tidak akan ada kompromi
terhadap penghentian operasional TPA.
Menurutnya, perbedaan sikap ini menjadi indikator bahwa
kesiapan teknis, infrastruktur, dan manajemen wilayah belum berada pada satu
pemahaman.
“Ini menunjukkan betapa lemahnya sinergi dan koordinasi
penyelesaian sampah. Kalau kewenangan sudah dikembalikan ke daerah, apakah
mereka benar-benar siap mengolah sampahnya sendiri?” ungkapnya.
Terkait wacana pemanfaatan teknologi Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah (PSEL) sebagai solusi jangka panjang, Prof Sudarma menyatakan
bahwa opsi tersebut memerlukan perencanaan matang, termasuk jaminan pasokan
sampah, teknologi pembakaran bersuhu tinggi untuk mencegah emisi berbahaya,
serta dukungan finansial yang besar di tingkat investasi maupun operasional.
Sementara itu, upaya lain seperti Tempat Pengolahan Sampah
Reuse, Reduce, Recycle (TPS3R), Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), dan
program Teba Modern dinilai masih menghadapi kendala penerapan.
Ia menyebut bahwa efektivitas program tersebut sangat bergantung
pada keberlanjutan fungsi operasional, manajemen residu, hingga mitigasi risiko
pencemaran air tanah dalam jangka panjang, terutama jika fasilitas tidak
dilengkapi sistem pelapisan tanah yang memadai. “Risikonya tinggi. Kalau sumur
warga mulai tercemar, siapa yang bertanggung jawab?” ujarnya.
Saat ditanya apakah penutupan TPA Suwung pada 23 Desember
mendatang merupakan langkah yang tepat, Prof Sudarma tidak menjawab secara
normatif. Namun, ia menegaskan bahwa Bali perlu memastikan kesiapan infrastruktur
dan sistem pengelolaan sampah alternatif agar tidak terjadi gangguan pelayanan,
peningkatan volume sampah di permukiman, maupun dampak sosial dan lingkungan
lainnya. (angga)
