Sekretaris Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kemenhut, Muchamad Saparis Soedarjanto memberikan materinya pada Konferensi Internasional Minyak Kelapa Sawit dan Lingkungan (ICOPE) 2025 hari ke-2, Kamis (13/2/2025), di Sanur, Denpasar, Bali. (Foto: Ist)
BALI, PERSPECTIVESNEWS- Sistem agroforestri (sistem pengelolaan lahan yang menggabungkan tanaman pertanian dengan pepohonan atau hutan), diyakini mampu menjadi solusi pengelolaan wilayah hutan dan kelapa sawit karena integrasi keduanya menjadi kunci menjaga keberlanjutan lingkungan dan mendorong perekonomian global.
Keyakinan tersebut disampaikan Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kemenhut Muchamad Saparis Soedarjanto di sela Konferensi Internasional Kelapa Sawit dan Lingkungan (ICOPE) 2025 hari ke-2, Kamis ( 13/2/2025), di Sanur, Denpasar, Bali.
Saparis Soedarjanto yang tampil sebagai pembicara dari Kemenhut menyebutkan, kelapa sawit dan pengelolaan wilayah hutan perlu terintegrasi karena menjadi kunci menjaga keberlanjutan lingkungan dan mendorong perekonomian.
Ia menjelaskan, sistem agroforestri itu dapat dilakukan melalui kombinasi kelapa sawit dengan penanaman tanaman pangan yang produktif serta konservasi keanekaragaman hayati melalui pembentukan koridor satwa.
Upaya itu, kata dia, tetap menjaga keberadaan satwa sekaligus mempertahankan keseimbangan ekologi.
Meski begitu, ia menambahkan integrasi tersebut membutuhkan perencanaan yang matang dan memperhatikan indikator penting di antaranya jenis tanah, iklim dan keanekaragaman hayati lokal.
“Perlu juga upaya pengawasan dan evaluasi berkelanjutan untuk menilai efektivitas dari strategi itu,” katanya.
Sekretaris Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kemenhut, Muchamad Saparis Soedarjanto saat memberikan keterangan pers di sela ICOPE 2025, Kamis (13/2/2025), di Sanur, Denpasar, Bali.
Upaya integrasi itu, kata dia, dapat dilakukan mencermati industri kelapa sawit telah menjadi salah satu mesin pertumbuhan ekonomi dan memberikan sumber ekonomi kepada masyarakat.
Populasi penduduk Indonesia yang tumbuh 1,25 persen per tahun atau lebih tinggi dari proyeksi mencapai 1,18 persen selama rentang waktu 2010-2020, menurut Saparis Soedarjanto, telah mendorong deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati dan menimbulkan polusi.
“Di tengah ancaman deforestasi dan dampak perubahan iklim, Indonesia dengan hutan seluas 116 juta hektar menghadapi tantangan monumental. Maka dari itu, diperlukan untuk mengubah paradigma pengelolaan hutan. Integrasi hutan dan entitas bisnis minyak sawit tidak hanya sebuah pilihan strategis tapi juga kebutuhan absolut,” ucapnya.
Ia mencatat luas kawasan hutan Indonesia mencapai lebih dari 125 juta hektare atau 65 persen dari luas daratan tanah air.
Hutan Indonesia memiliki peran yang penting dalam lanskap baik dalam ekologi, sistem kehidupan hingga sumber yang menyediakan air, oksigen dan tanah yang sehat.
“Hutan dan sawit merupakan bagian dari lanskap, keduanya harus berperan krusial dalam menjaga keanekaragaman hayati serta mendukung ekonomi dalam negeri dan global,” jelasnya.
Dengan lebih dari 95 persen kawasan hutan berfungsi sebagai penyangga kehidupan, hutan Indonesia tak hanya menjadi sumber air bersih, tetapi juga energi dan bahan pangan. Namun, perkembangan industri, terutama perkebunan sawit, menuntut perhatian serius.
Langkah-langkah perlindungan hutan nilai konservasi tinggi (High Conservation Value/HCV) dan mitigasi bencana alam menjadi bagian dari strategi ini.
“Kami percaya bahwa integrasi antara hutan dan sawit bukan hanya diperlukan, tetapi juga mendesak untuk masa depan yang lebih baik,” tuturnya.
Menurutnya, dengan upaya dan komitmen yang tepat, harapan untuk menjaga keanekaragaman hayati dan mengurangi emisi karbon bukanlah mimpi semata. “Kita harus aktif melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam,” tutup Saparis. (lan)