Gubernur Wayan Koster foto bersama seusai rapat koordinasi bersama stakeholder membahas Konsep Percepatan Pelaksanaan Layanan Kesehatan Bali, Kamis (12/6/2025). (Foto: Humas Pemprov Bali)
DENPASAR,
PERSPECTIVESNEWS - Gubernur Bali Wayan Koster kembali melontarkan terobosan
kebijakan strategis bidang kesehatan sebagai upaya mewujudkan layanan kesehatan
yang adil, merata, dan berbasis komunitas di tingkat desa.
Konsep ini diwujudkan melalui semangat gagasan program
"Satu Desa Satu Klinik" yang kini tengah dirumuskan sebagai bagian
dari integrasi program nasional Koperasi Desa Merah Putih.
Hal tersebut terungkap saat Gubernur Bali Wayan Koster
menggelar rapat koordinasi bersama stakeholder terkait membahas Konsep
Percepatan Pelaksanaan Layanan Kesehatan Bali, di Gedung Kerthasabha,
Jayasabha, Denpasar, Kamis (12/6/2025).
"Sudah sejak awal kita canangkan gagasan ini. Tujuannya
agar masyarakat di tingkat desa dan kelurahan bisa mengakses layanan kesehatan
yang terjangkau, merata, dan berkualitas," ucap Gubernur Koster dalam
forum perumusan awal program tersebut.
Dalam pernyataannya, gubernur menekankan bahwa program ini
tidak hanya menyediakan layanan medis konvensional, tetapi juga mencakup
pengobatan tradisional berbasis kearifan lokal Bali. "Yang penting,
sekarang kita rumuskan dulu regulasinya agar siap ketika program diluncurkan
secara resmi," tegasnya.
Akses Kesehatan untuk
Daerah Terpencil
Bali memiliki 716 desa dan kelurahan yang tersebar di 8
kabupaten dan 1 kota, namun belum semuanya terlayani fasilitas kesehatan secara
merata. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dalam paparannya menyoroti
ketimpangan ini, terutama di wilayah seperti Karangasem, Bangli, Buleleng,
Jembrana, dan desa-desa di pegunungan atau sekitar kawasan hutan.
Program ini secara cermat dirancang tidak untuk diterapkan
seragam di semua desa. Wilayah yang sudah memiliki RS atau Puskesmas cukup
seperti Denpasar dan Badung, mungkin tidak menjadi prioritas. Fokus diarahkan
pada wilayah yang benar-benar membutuhkan layanan kesehatan.
Langkah awal mencakup identifikasi desa yang belum memiliki
layanan dasar, pemetaan SDM, hingga kerja sama dengan pemerintah desa terkait
lahan dan kelembagaan. "Saya punya pandangan seperti ini: kalau di satu
desa sudah ada klinik yang berfungsi dengan baik, maka tidak perlu lagi ada
Pustu atau layanan ganda lainnya. Layanan sudah cukup ter-cover," ungkap
Gubernur Koster.
Dengan pendekatan ini, Gubernur Koster menekankan pentingnya
efisiensi anggaran dan optimalisasi sumber daya yang ada. Ia bahkan mengambil
contoh keberhasilan masa lalu saat fiskal daerah terbatas, seperti yang
dilakukan mantan Bupati Jembrana, I Gede Winasa, yang mampu menjalankan layanan
gratis dengan manuver fiskal yang cerdas.
Klinik Desa sebagai
Titik Awal Rujukan dan Sistem Kapitasi BPJS
Terobosan ini juga mencakup rencana integrasi Klinik Desa
dalam sistem BPJS melalui mekanisme kapitasi. "Kalau Klinik Desa dibangun
sesuai Permenkes, maka tidak diperlukan dana APBD tambahan. Dana kapitasi dari
BPJS bisa menutupi seluruh biaya operasional," jelasnya.
Gubernur menyoroti pentingnya sistem rujukan langsung dari
desa, tanpa harus berlapis ke Puskesmas terlebih dahulu. "Klinik Desa
seharusnya bisa jadi titik awal layanan primer. Ini akan memotong birokrasi dan
mempercepat pelayanan bagi masyarakat," ucapnya.
Gagasan "Satu Desa Satu Klinik" di Bali
mencerminkan semangat kepemimpinan Gubernur Koster yang visioner dan berpihak
pada akar persoalan masyarakat. Alih-alih terpaku pada pola lama dan
birokratis, ia justru menawarkan paradigma baru: layanan berbasis komunitas,
terintegrasi, dan efisien.
Dalam kondisi fiskal yang lebih baik dari sebelumnya, Koster
justru mendorong penguatan kreativitas dalam anggaran. “Dulu uang sedikit, hasil
besar. Sekarang uang banyak, belum tentu hasilnya maksimal,” ujarnya kritis,
sekaligus menegaskan arah kepemimpinan yang berani berinovasi.
Dengan tagline “Gerbang Sehat Desa Bali”, program ini kini
memasuki tahap penyusunan kerangka regulasi, pemetaan wilayah prioritas, dan
simulasi skema pembiayaan. Gubernur meminta agar seluruh perencanaan dirancang
secara runut, logis, dan fokus pada manfaat langsung bagi masyarakat.
“Kita tidak butuh basa-basi. Yang penting kerja nyata, tepat
sasaran, dan bermanfaat langsung bagi masyarakat desa,” tutup Gubernur.
Program ini diharapkan menjadi tonggak baru dalam sejarah
pelayanan kesehatan di Bali, dimulai dari desa, dibangun oleh desa, dan untuk
kesejahteraan desa. Sebuah model pembangunan kesehatan berbasis budaya dan
kemandirian lokal yang layak menjadi contoh nasional.(lan)