Perspectives News

Hari ke-2 Sthala UVJF 2025, Suguhan Musik Berpadu Indahnya Layangan dan Sungai yang ‘Menyanyi’

 

Tampilan para musisi jazz di hari ke-2 Sthala UVJF 2025, Sabtu (2/8/2025), sebuah suguhan musik berpadu dengan indahnya layang-layang dan sungai yang ‘menyanyi’. (Foto: Ist)

UBUD, PERSPECTIVESNEWS- Sabtu (2/8/2025) adalah malam ke-2 berlangsungnya Sthala Ubud Village Jazz Festival (UVJF) 2025 sekaligus puncak perayaan musik lintas benua di Lodtunduh.

Festival dua hari ini kembali memikat penikmat musik dengan sajian jazz berkelas dunia, menghadirkan suasana yang gegap gempita namun tetap intim, persis seperti jiwa jazz itu sendiri.

Tahun ini, tata panggung festival hanya menampilkan dua ruang utama: Giri Stage, panggung besar dengan dentuman big band dan harmoni berlapis, serta Subak Stage, yang terletak di tepi sungai, sebuah ruang kecil nan intim di mana suara musik berpadu dengan gemericik air, menciptakan pengalaman menikmati musik yang terkesan magis.

Sthala UVJF 2025 tidak lagi tentang ‘membagi’ massa ke banyak arah, melainkan mengajak semua penonton ‘menyelam’ dalam musik, bersama, dalam satu napas kolektif.

Sore dimulai dengan Dizzy & Wicked, kuartet electro-jazz yang memanaskan udara dengan Tentative Love, Canggu City Bob, hingga Lotus Blossom, membawa groove modern yang membangkitkan semangat penonton.

East West European Jazz Orchestra kemudian mengubah Giri Stage menjadi pesta swing dan funk lintas benua lewat Almost Like Being in Love, Love for Sale, hingga Samba Para Ubud, lagu yang seakan ditulis khusus untuk festival ini.

Di Subak Stage lewat Balawan Trio feat. Jiyestha, memadukan jazz fusion dengan akar gamelan Bali dalam Travelling Nusantara, Dagang Sate, dan Bali Bach.

Virtuoso double-neck guitar Balawan membuat tepuk tangan penonton berderu tanpa henti.

ROUGE dari Prancis menghadirkan nuansa lirikal lewat Tempête, Strawberries in the Dark, hingga Pink Flamingo, membawa penonton ke lanskap melodi yang dalam dan penuh emosi.

Jazz Traveller kemudian memanggil kembali energi bossa dan swing klasik lewat G. Blues dan Jazz Pasar, mengalir mulus menuju penampilan Makoto Kuriya Trio.

Sang maestro Jepang menghipnotis Giri Stage dengan Intro Blues, Jive Love, Sakura Garden, hingga Cherokee, jazz-fusion yang merentangkan batas-batas musikal lintas generasi dan negara.

Menjelang larut, Mahanada menurunkan tempo di Subak Stage, mengundang keintiman lewat It Could Happen to You, Round Midnight, hingga lagu orisinalnya Me Myself Nada.

Malam pun ditutup dengan dentuman besar Galaxy Big Band, yang menyalakan panggung dengan The Wind Machine, Feeling Good, Georgia on My Mind, hingga Coffee Rumba, menutup festival dengan energi penuh ke langit Lodtunduh.

Namun UVJF bukan sekadar urusan musik. Tahun ini, arsitek festival Klick Swantara dan Diana Surya menggandeng Kadek Armika dan komunitas Rare Angon, menghadirkan instalasi layangan raksasa sebagai bagian dari arsitektur artistik festival.

Janggan berukuran monumental, layangan Wayang yang berliku anggun, dan Barong yang digantung megah di jembatan sungai Sthala membentuk lanskap visual yang memikat.

Layangan-layangan ini tidak diterbangkan, melainkan dipajang sebagai instalasi seni, menjembatani tradisi Bali dengan atmosfer jazz yang bebas dan kosmopolitan.

“Acara ini akan terus berlanjut di tahun depan, karena ini adalah idealisme kami bersama, saya dan Yuri,” ujar Anom Darsana, co-founder UVJF.

“Selama 12 tahun, festival ini telah menjadi ikon baru di Ubud, menghadirkan musisi dari berbagai belahan dunia, dan kami berharap ke depannya akan ada lebih banyak dukungan agar jazz idealis seperti ini terus hidup. Terima kasih kepada semua tim dan relawan yang telah bekerja keras mewujudkan UVJF 2025,” tutup Anom Darsana.  (lan/*)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama