Bedah buku ‘Tropical Indulgence’ The Meru Sanur and Bali Beach Hotel yang menghadirkan Prof. Johannes Widodo (kanan) serta arsitek dan praktisi desain Ar. Gregorius Supie Yolodi dan Ar. Maria Rosantina yang dimoderatori oleh kurator sekaligus penulis buku, David Hutama. (Foto: perspectives).
DENPASAR, PERSPECTIVESNEWS- The Meru Sanur and Bali
Beach Hotel meluncurkan buku ‘Tropical Indulgence’. Ini sekaligus menandai sebuah
momen penting dalam revitalisasi salah satu landmark perhotelan paling
berpengaruh di Indonesia yang direstorasi kembali berlandaskan Tri Hita Karana
(THK).
Peluncuran dan bedah buku dilakukan di
The Meru Sanur and Bali Beach Hotel, Selasa (23/12/2025) dan dihadiri
para akademisi, arsitek dan praktisi
desain diantaranya Ar. Gregorius Supie Yolodi dan Ar. Maria Rosantina yang dimoderatori
oleh kurator sekaligus penulis buku, David Hutama.
Diskusi juga menghadirkan Prof. Johannes Widodo, seorang akademisi di
bidang konservasi arsitektur yang membedah tentang pentingnya
warisan arsitektur yang berorientasi masa depan.
Dikatakan, The Meru Sanur and Bali Beach Hotel direnovasi
dengan landasan filosofi Tri Hita Karana (hubungan harmonis antara manusia
dengan Tuhan (Parhyangan), manusia dengan sesama (Pawongan) dan manusia dengan
alam (Palemahan) yang menciptakan kesejahteraan dan
keseimbangan dalam kehidupan.
“Tri Hita Karana bukan sebatas filosofi zaman nenek moyang
dulu tetapi sudah menjadi landasan atau model pembangunan hotel modern. Sekarang
ini, hotel berbintang bukan lagi ditentukan karena fasilitas yang serba modern tetapi
sudah mengadopsi lingkungan dan alam. Contoh, penggunaan AC dan lampu sudah semakin
dikurangi dan digantikan dengan arsitektur bangunan yang lebih terbuka sehingga
udara dan sinar matahari bisa leluasa masuk. Konsep green building inilah
yang sebenarnya lahir dari warisan leluhur kita,” terang Prof. Johannes Widodo.
Diresmikan pada tahun 2025, The Meru Sanur and Bali Beach Hotel berdiri di atas lahan eksisting Bali Beach Hotel, sebuah ikon arsitektur modernis yang lahir pada era pembangunan bangsa di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno dan telah lama dipandang sebagai simbol modernitas awal Indonesia.
Etika lingkungan menjadi landasan pembangunan The Meru Sanur and Bali Beach Hotel yang dirancang sebagai sebuah dialog lintas waktu. Di tengah proyek ini terdapat keterlibatan sebuah prinsip yang membimbing warisan pada kemajuan.
“Arsitektur dan aturan tradisional Bali bukan tentang
melestarikan masa lalu, melainkan tentang membentuk masa depan berlandaskan
etika lingkungan,” ungkap Prof. Johannes Widodo
Pandangan ini membingkai proyek bukan sebagai nostalgia,
melainkan sebagai pendekatan yang bertanggung jawab terhadap warisan.
Ar. Gregorius Supie Yolodi saat menjelaskan strategi arsitektural di balik proses revitalisasi The Meru Sanur and Bali Beach Hotel. (Foto: perspectives)
Berpijak pada pemahaman tersebut, strategi arsitektural di
balik proses revitalisasi, sebagaimana diuraikan dalam pernyataan perancangan
oleh Yolodi + Maria Architects, dilandasi oleh prinsip preservasi, konservasi,
dan penambahan yang sensitif.
Elemen serta struktur utama yang memiliki nilai historis
dipertahankan dan direstorasi, sementara intervensi baru diperkenalkan secara
cermat untuk membangun dialog yang seimbang dengan bangunan eksisting.
Merefleksikan pendekatan ini, Yolodi dan Maria menjelaskan, The Meru Sanur and Bali Beach Hotel dirancang sebagai sebuah dialog lintas waktu yang menghidupkan kembali jiwa warisan arsitektur modern Bali Beach Hotel, sekaligus merespons kebutuhan dan nilai abad ke-21.
Dalam pendekatan ini, arsitektur diposisikan sebagai medium
yang merekam memori, sejarah, dan proses transformasi.
Lebih lanjut ditegaskan, “Dalam perancangan The Meru Sanur and Bali Beach Hotel, alam tropis tidak diperlakukan sebagai latar semata,
melainkan sebagai bagian integral dari pengalaman arsitektur di mana iklim,
ruang, dan manusia saling terhubung sebagai bentuk kemewahan paling mendasar,”
sebutnya.
Gagasan-gagasan tersebut dieksplorasi lebih lanjut dalam
buku Tropical Indulgence: The Meru Sanur and Bali Beach Hotel, yang menempatkan
proyek ini dalam konteks transformasi Sanur sebagai pusat pariwisata kesehatan
dan kebugaran.
Melalui gambar, fotografi, dan esai, publikasi ini
menghadirkan refleksi tentang bagaimana arsitektur bersejarah dapat dimaknai
dan ditafsirkan ulang secara relevan bagi kehidupan kontemporer.
Sementara itu, peluncuran buku The Meru Sanur and Bali Beach Hotel dilakukan bersamaan dengan pembukaan pameran bertajuk ‘Reviving The Legacy’.
Pameran diselenggarakan di hadapan mural batu bersejarah
yang dikomisi oleh Presiden Soekarno dan dipahat oleh Harijadi Soemadidjaja,
menempatkan acara ini dalam kesinambungan yang kuat antara sejarah dan
pembaruan.
Pameran ini menghadirkan dua narasi utama: ‘Reading Bali
Beach dan Creation of The Meru Sanur’ yang mengungkap bagaimana masa lalu dan
masa kini dapat hadir berdampingan melalui kejernihan dan keseimbangan
arsitektural. (lan)

