Gubernur Bali Wayan
Koster dan Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Dr. Chatarina Muliana menandatangani
MoU di Gedung Wiswa Sabha Utama Kantor Gubernur Bali, Rabu (17/12/2025) (Foto:
Humas Pemprov Bali)
DENPASAR,
PERSPECTIVESNEWS - Gubernur Bali Wayan Koster sampaikan dukungan dan
apresiasi yang besar atas berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Nasional yang baru disahkan tahun 2023 dan mulai berlaku secara serentak pada
tanggal 2 Januari 2026. Menurut Koster, pihaknya beserta jajaran akan mendukung
penuh dan siap berkolaborasi menegakkan KUHP tersebut di Provinsi Bali.
Hal ini disampaikannya Gubernur Koster saat memberikan
sambutan pada acara Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Kejaksaan
Tinggi Bali dengan Pemerintah Provinsi Bali, bertempat di Gedung Wiswa Sabha
Utama (WSU), Kantor Gubernur Bali, Denpasar pada Rabu (17/12/2025).
Dalam kesempatan yang turut juga dihadiri Bupati/Wali Kota
se-Bali dan Sekda Provinsi Bali Dewa Made Indra, Gubernur Koster mengatakan
Bali melalui desa adat telah melaksanakan sistem hukum yang lengkap,
sebagaimana tertuang dalam KUHP.
“Desa adat di Bali mempunyai awig-awig semacam UU, perarem
atau aturan di bawah UU seperti Perpu, PP atau Perpres yang dijalankan dengan
sangat baik oleh Desa Adat,” jelasnya.
Bahkan sejak dahulu Bali telah menerapkan trias politika atau
konsep pemisahan kekuasaan. “Di
masing-masing desa adat kita kenal istilah prajuru atau eksekutif yang
menajalankan pemerintahan, Sabha Desa atau legislatif dan Kertha Desa. Nah di
Kertha Desa inilah berjalan sistem hukumnya Namanya hukum adat,” imbuhnya.
Adapun berbagai hukuman bagi warga yang bermasalah di
lingkungan Desa Adat tersebut menurutnya cukup beragam, sesuai dengan tingkat
keparahan pelanggaran. Namun, ia menjelaskan hukuman-hukuman tersebut lebih
menjurus ke sanksi sosial.
“Mulai dari kerja bakti, berjalan keliling desa dengan
tulisan jenis hukuman hingga sanksi sosial lainnya yang membuat warga jera,”
tegasnya.
Gubernur dua periode tersebut pun mengatakan,
langkah-langkah tersebut cukup ampuh untuk membuat efek jera terhadap
masyarakat, karena dominan masyarakat di Bali juga sangat patuh kepada dresta
atau regulasai desa adatnya, yang mana masing-masing desa tentu mempunya dresta
yang berbeda-beda juga.
“Kita punya sistem kearifan lokal yang sudah dijalankan dari
zaman kerajaan. Jika itu bisa terus diterapkan berdampingan dengan hukum
negara, tentu saja bisa mengurangi masyarakat yang masuk penjara,” tandasnya.
Sementara Sekretaris Jaksa Muda Tindak Pidana Umum Dr.
Undang Mugapol mengatakan KUHP yang baru tersebut sangat penting karena selama
ini Indonesia memakai KUHP warisan Belanda, dan akhirnya tanggal 2 Januari 2026
mendatang bangsa ini resmi menggunakan KUHP nasional sendiri. “KUHP nasional
dirumuskan oleh ahli hukum Indonesia dan menyerap aspirasi masyarakat melalui
meaningful participation,” jelasnya.
Keberadaan KUHP baru ini sangat penting, karena dikatakannya
berdasarkan nilai-nilai Pancasila, sesuai dengan UUD NRI 1945, Mengakui
keberadaan hukum yang hidup di masyarakat (living law), serta sejalan dengan
Asta Cita utamanya dalam memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan HAM
serta memperkuat reformasi hukum. “Artinya KUHP nasional telah meninggalkan
nilai-nilai kolonial dan mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal Indonesia,”
imbuhnya.
Ia menambahkan, KUHP yang baru juga memperkenalkan jenis pidana
baru seperti: pidana kerja sosial, pidana pengawasan, dan pidana tambahan
berbasis adat.
Dalam hal ini, sanksi pidana kerja sosial akan menjadi salah
satu instrumen baru dalam penerapan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional.
“Jadi, KUHP nasional akan membawa perubahan fundamental.
Penjara, ke depannya, bukan lagi instrumen utama, tetapi akan menjadi ultimum
remedium atau upaya terakhir,” katanya.
Namun demikian, ia menegaskan bahwa tidak semua jenis
perkara dapat diterapkan sanksi pidana kerja sosial, salah satunya perkara
korupsi.
“Jadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 sekarang itu
memberikan batasan, kasus korupsi tidak perlu ada kerja sosial. Jadi perkara
korupsi tidak masuk dalam lingkungan ini,” ujar Asep Nana.
Untuk status terpidana anak, penerapan sanksi pidana kerja
sosial juga dapat diberlakukan. Namun, lebih pada pendekatan yang lebih
edukatif dan rehabilitatif.
Sebelumnya Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Dr. Chatarina
Muliana menyatakan bahwa penandatanganan MoU tersebut bukan formalitas semata
namun merupakan komitmen nyata penerapan kerja sosial sebagai bagian dari
sistem peradilan peradilan pidana yang lebih humanis, efektif dan restoratif.
“Pidana kerja sosial memberikan peluang bagi pelaku untuk
memperbaiki kesalahannya sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat serta
mengurangi beban pemidanaan yang murni,” jelasnya.
Menurutnya dalam pelaksanaan pidana kerja sosial, kejaksaan
pemerintah daerah mempunyai peranan yang saling melengkapi.
Kejaksaan bertanggung jawab memastikan penerapan hukum yang
adil dan konsisten, sementara pemerintah daerah mempunyai peranan memfasilitasi
pelaksanaan teknis, pembinaan dan penyediaan sarana serta kesempatan kerja
sosial yang aman dan bermanfaat.
“Kita perlu sisi
monitoring bersama antara kejaksaan, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan
untuk mengevaluasi dampak dan standar kepatuhan terhadap standar hukum dan
HAM,” tandasnya.
Dalam kesempatan pagi itu juga disampaikan pemaparan dari
PT. Jamkrindo yang disampaikan oleh Direktur MSDM Umum dan Manajemen Risiko
Ivan Soeparno.
Dalam kesempatan tersebut ia memaparkan bahwa PT. Jamkrindo
mantap bersinergi dengan pemerintah khususnya Pemerintah Provinsi Bali dalam
membangun ekonomi, meningkatkan kemudahan berusaha, serta menghadirkan berbagai
kebijakan yang mendorong pertumbuhan sektor produktif, khususnya UMKM dan
Koperasi.
“Upaya Pemerintah Daerah dalam memperkuat ekosistem usaha
menjadi fondasi penting bagi terjalinnya kolaborasi yang lebih luas,” tandasnya. (lan)
