Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Bali, Emanuel Dewata Oja risau dengan banyaknya media online (siber) didirikan tanpa memiliki profesionalisme para pengelolanya. (FOTO: dok pribadi)
DENPASAR, PERSPECTIVESNEWS – Pertumbuhan media online di Indonesia begitu pesat dan nyaris tak terkendali. Tahun 2020 saja, jumlahnya mencapai 50 ribu lebih.
Berkaca pada peningkatan jumlah media online di Tanah Air yang terus bertumbuh tak terkendali, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Bali, Emanuel Dewata Oja melontarkan gagasan pengaturan dan pengendalian pertumbuhan media online agar tidak terjadi angka pertumbuhan yang nyaris tak terkendali.
“Mumpung ada Wakil Ketua Dewan Pers datang ke Bali dan akan menggelar diskusi bekerjasama dengan SMSI Bali, saya ingin mengusulkan penertiban dan pengendalian pendirian media online. Mungkin untuk seluruh Indonesia, tetapi saya akan fokus saja untuk daerah Bali,” ujar Emanuel Dewata Oja di Denpasar, Rabu (23/5/2023).
Dewan Pers memang akan menggelar diskusi terkait manajemen media online di Bali pada Kamis 25 Mei 2023 difasilitasi Dinas Kominfos Provinsi Bali. Kegiatan digelar di aula Kantor Dinas Kominfos Bali pukul 14.30-18.00 Wita menghadirkan kurang lebih 50 orang wartawan media online yang bertugas di Bali.
Pria yang akrab disapa Edo ini lantas menguraikan, saat ini memang tidak ada satu pun regulasi yang berfungsi menertibkan pendirian media online. Akibatnya, kata Edo, hingga sekarang bertumbuh puluhan ribu media online di seluruh Indonesia, di Bali saja sudah di kisaran 300-500 media online.
“Celakanya, ada media yang didirikan oleh orang-orang yang tidak punya latar belakang pengetahuan jurnalistik sama sekali. Ada yang mantan sales sepeda motor punya uang 3 juta rupiah lalu bikin perusahaan dan digunakan untuk dijadikan media pers. Ada juga mantan security hotel bikin PT dan mengoperasikan media pers dengan PT yang didirikan. Kita bisa bayangkan seperti apa karya jurnalistik yang dihasilkan. Pasti sangat tidak profesional,” ujar Edo.
Edo yang juga Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Bali ini, menjelaskan bahwa lebih buruk lagi, para pendiri perusahaan pers yang tak punya pengetahuan jurnalistik tersebut mengangkat dirinya sendiri sebagai penanggungjawab, pemimpin redaksi hingga menjadi wartawan.
Akibatnya, mereka hanya mengandalkan rilis yang dikirim beberapa instansi. Rilis tersebut sama sekali tidak diutak-atik sesuai norma jurnalistik. Mereka langsung upload rilis yang mereka dapatkan. Sering juga terjadi, mereka mengutip atau mengcopy berita media lain tanpa menghiraukan aturan-aturan untuk repost atau rewrite.
Untuk mengatasi hal ini, Edo berpendapat Dewan Pers bisa berkoordinasi dengan beberapa instansi atau lembaga swasta yang secara regulatif berwenang menerbitkan perusahaan, misalnya mendirikan PT, Dewan Pers bisa berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), sehingga Kemenkumham dapat memberi instruksi atau aturan apapun kepada para pejabat pembuat akte atau notaris agar setiap orang yang mau mendirikan PT dengan KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) perusahaan Pers atau Media dapat mensyaratkan beberapa hal terkait aturan mendirikan perusahaan pers atau media.
“Misalnya pada saat mendirikan PT, notaris bisa cek KBLI yang tercantum pada pasal 3 akte perusahaan. Siapa pun yang mendirikan PT dengan KBLI perusahaan media atau pers, harus menyertakan syarat-syarat tertentu yang sesuai dengan syarat pendirian perusahaan pers atau media. Misalnya harus ada kartu Uji Kompetensi Wartawan (UKW) Utama untuk seorang pemimpin redaksi, harus melampirkan data minimal 5 orang wartawan, dimana dua di antaranya harus mengantongi kartu UKW. Dengan begitu saya kira tidak akan ada lagi mantan sales sepeda motor mendirikan media,” ujarnya.
Hal seperti ini, jelas Edo tidak akan dituding sebagai pembatasan kebebasan pers yang diamanatkan era reformasi. Karena penekanan kebebasan pers adalah pada karya jurnalistik yang memenuhi standar, bukan pada bagaimana orang bebas mendirikan perusahaan. (djo)