Ma Ning, wasit asal China yang memimpin laga Indonesia kontra Irak penuh kontroversial. Ia oleh seorang pengamat bola disebut-sebut wasit pesanan Timur Tengah. (Foto: pebri)
JAKARTA,
PERSPECTIVESNEWS - Kekalahan Timnas Indonesia dari Irak dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026 bukan sekadar
soal skor. Bagi pengamat sepak bola senior, Fritzs Simandjuntak, laga di Stadion
King Abdullah Sports City, Sabtu (11/10/2025), adalah potret kelam sepak bola
Asia yang dikendalikan oleh tangan-tangan kotor.
“Sudah saatnya kita
buka mata. AFC bukan lagi federasi, tapi sarang mafia sepak bola. Wasit-wasitnya
bukan pengadil, tapi operator pesanan dari kekuasaan Timur Tengah,” tegas
Fritzs dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (13/10/2025).
Target kritik utama Fritzs adalah wasit asal China, Ma Ning,
yang memimpin laga Indonesia vs Irak. Keputusan-keputusannya dinilai absurd,
penuh kejanggalan, dan merugikan Timnas Garuda.
Fritz merinci, di menit injury time, Zaid Tahseen menyikut
Kevin Diks di kotak penalti. Kartu merah diberikan ke Tahseen, tapi penalti?
Tidak. Ma Ning justru menyalahkan Diks karena dianggap memancing emosi lawan.
Sebelumnya, Tahseen juga lolos dari kartu merah saat
melanggar Ole Romeny sebagai pemain terakhir. VAR? Tidak digunakan. Hanya kartu
kuning.
Bahkan, protes keras dari manajer Timnas, Sumardji, berujung
kartu merah. Tapi pertanyaan besarnya: kenapa VAR tak pernah menyala sepanjang
laga yang penuh tensi?
Fritzs menduga Ma
Ning bertugas dengan “kompensasi khusus”. “Wasit ini tidak independen. Dia
bertugas dengan agenda. Bahkan salah seorang tokoh wasit FIFA asal Jepang
menyebut Ma Ning sudah menerima perintah sebelum laga dimulai. Tidak ada VAR
digunakan dalam laga seketat itu? Itu bukan kelalaian, itu sabotase,” tegasnya.
Track record Ma Ning pun bukan tanpa noda. Di final Piala
Asia 2023, ia memberi tiga penalti untuk Qatar saat melawan Yordania. Hasilnya?
Qatar juara. “Itu bukan kebetulan. Itu pola,” kata Fritzs.
Lebih jauh, Fritzs
menyebut AFC telah menjadi alat kekuasaan Timur Tengah. “Wasit bisa disuap,
diarahkan, dan dikendalikan. Ini bukan sekadar merusak pertandingan, tapi
menghancurkan masa depan sepakbola Asia. Kita makin tertinggal dari Eropa, Amerika
Latin, bahkan Afrika.” (djo)